BAB I
PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara
dengan luas wilayah terbesar se-Asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih
220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per tahun merupakan
negara yang mempunyai beraneka ragam kekayaan alam. Kekayaan alam tersebut
bukan hanya terdapat pada sektor kekayaan alam migas seperti minyak bumi dan
bahan tambang saja, namun juga kekayaan alam non-migas seperti tersedianya
lahan pertanian yang cukup luas. Namun semua itu ternyata belum cukup untuk
memberikan solusi atas permasalahan yang ada, permasalahan seperti kurang
memadainya kebutuhan pangan, jika kekayaan tersebut tidak diberdayakan secara
optimal dan dilandaskan oleh aturan dan kebijakan yang mendukung didalamnya.
Salah satu permasalahan yang paling pokok adalah pemenuhan
kebutuhan pangan, terutama kebutuhan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan pangan
ini sangat erat hubungannya dengan sektor pertanian dalam arti yang luas,
sehingga tidak heran jika pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan
bangsa Indonesia. Salah satu sektor dari pertanian tersebut adalah sub sektor
peternakan.
“Negeri
yang kaya ternak, tidak pernah miskin. Negeri yang miskin ternak, tidak pernah
kaya”. (– Pepatah Arab— dalam
Campbell dan Lasley, 1985)
BAB II
PERUMUSAN
MASALAH
Rendahnya
konsumsi protein hewani berdampak pada tingkat kecerdasan dan kualitas hidup
penduduk Indonesia. Negara Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan
guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan Indonesia, terutama dalam
kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human
Development Indeks (HDI) tahun 2004 yang dikeluarkan United Nation Development
Program (UNDP). Dalam periode tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-111,
satu tingkat di atas Vietnam (112), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya,
Singapura (peringkat 25), Malaysia (59), Thailand (76) dan Fhilipina (83)
(Rusfidra, 2002).
Kondisi ini
merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara berkembang sebagaimana
pengamatan Todaro (2000), “Penduduk miskin di berbagai negara dengan cepat
mempelajari bahwa pendidikan merupakan cara yang ampuh untuk menyelamatkan diri
dari kemiskinan. Namun dalam kenyataannya, anak-anak miskin merupakan orang
yang pertama dikeluarkan dari dari kelas karena mengantuk akibat kekurangan
gizi, dan orang yang pertama gagal ujian Bahasa Inggris karena mereka tidak
punya kesempatan belajar di rumah seperti anak keluarga kaya”.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tantangan Penyediaan Protein Hewani
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2025 diperkirakan mencapai 273,7 juta jiwa. Demikian dikatakan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas saat menyebutkan proyeksi penduduk
Indonesia tahun 2000-2025 (Kompas, 3/8/2005). Dengan jumlah penduduk sebesar
itu Indonesia merupakan pasar yang luar biasa besar. Namun sayangnya, kita
masih sangat tergantung pada bahan impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi
hidup sebanyak 450 ribu ekor dari Australia. Setiap tahun negara agraris ini
mengimpor 1 juta ton bungkil kedele, 1,2 juta ton jagung, 30 ribu ton tepung
telur dan 140 ribu ton susu bubuk. Importasi bahan pangan tersebut menguras
devisa negara cukup besar.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk
terbesar keempat negara di dunia, Indonesia termasuk pasar potensial bagi
negara-negara lain. Produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi
produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan
pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini
konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5
gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26
gram/kapita/hari (Han, 1999). Peningkatan konsumsi protein hewani dapat dipacu
dengan meningkatkan pendapatan rumahtangga dan kesadaran gizi masyarakat.
Merebaknya kasus gizi buruk (malnutrisi)
dan busung lapar pada anak-anak usia bawah lima tahun (balita) beberapa waktu
lalu sangat merisaukan kita sebagai bangsa. Sesungguhnya, kasus malnutrisi
disebabkan kurangnya asupan kalori-protein pada tingkat rumahtangga. Masa
balita merupakan “periode emas (the golden age)” pertumbuhan anak manusia
dimana sel-sel otak sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein
hewani sangat dibutuhkan agar otak berkembang secara optimal, tidak sampai tulalit,
(Nadesul, Kompas 9/7/05).
Asupan kalori-protein yang rendah pada
anak balita menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko terkena
penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performans mereka di
sekolah dan menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa
(Pinstrup-Andersen, 1993 dalam Rusfidra, 2005a). Kasus malnutrisi yang sangat
parah pada usia balita dapat menyebabkan bangsa ini mengalami loss generation.
Akibat berikutnya adalah rendahnya daya saing SDM bangsa ini dalam percaturan
global antar bangsa. Namun sayangnya, ditengah usaha berbagai pihak
mempromosikan peningkatan konsumsi protein hewani, negara ini kembali
disibukkan oleh merebaknya wabah flu burung. Hingga Januari 2006 jumlah pasien
yang diduga terinfeksi flu burung berjumlah 85 orang, dimana 17 pasien
diantaranya meninggal dunia. Realitas ini menunjukkan bahwa kasus flu burung
masih bersirkulasi di sekitar kita Oleh karena itu, kita berharap kepada
aparatur pemerintah (Deptan dan Depkes) agar bekerja dengan visi dan rencana
kerja yang sistematis, tidak bekerja serabutan seperti selama ini. Selama ini
terkesan birokrat bekerja seperti “pemadam kebakaran”, baru kelihatan program
kerjanya setelah timbulnya masalah.
Wabah flu burung telah berdampak pada
turunnya konsumsi daging dan telur karena adanya kekawatiran masyarakat akan
terinfeksi flu burung bila memakan telur dan daging ayam. Meskipun wabah flu
burung bersifat fatal (mematikan) pada unggas, namun konsumen tidak perlu
kawatir untuk mengkonsumsi daging ayam dan telur. Karena dengan pemanasan pada
suhu 56 C selama 3 jam atau pada 60 C selama 30 menit virus Avian Influenza
(AI) akan mati. Artinya, selama konsumen tidak memakan telur atau daging ayam
mentah, maka kecil peluang terinfeksi AI (Rusfidra, 2005b).
Penularan flu burung selama ini terjadi
melalui pernafasan (air borne desease), bukan melalui makanan (food borne
desease). Karena itu, kampanye makan daging ayam dan telur secara aman
merupakan langkah cerdas untuk memulihkan citra bahwa memakan daging ayam dan
telur relatif aman sepanjang kedua komoditi unggas tersebut diolah secara benar
sebelum dimakan. Selain itu, juga diperlukan program penyediaan sumber protein
hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada tingkat
rumahtangga. Dalam konteks ini, program “Family Poultry” layak ditimbang sebagai
sebuah solusi mengatasi terjadinya malnutrisi, efektif dalam pengentasan
kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai
sumber pendapatan (Rusfidra, 2005a, Rusfidra, 2005c, Rusfidra, 2005d)..
B. Konsumsi Protein Hewani
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok
manusia untuk hidup sehat. Kita memerlukan pangan hewani (daging, susu dan
telur) sebagai sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh,
mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak
mudah pecah.
Meskipun masyarakat menyadari pangan
hewani sebagai kebutuhan primer namun hingga kini konsumsi protein hewani
penduduk Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas
penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi penduduk
Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg)
dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International, 2003). Jadi, konsumsi daging
unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia 100
gram/kapita/hari.
Konsumsi telur penduduk Indonesia juga
rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg
dan Fhilipina 6,2 kg. Bila satu kilogram telur rata-rata terdiri atas 17 butir,
maka konsumsi telur penduduk Indonesia sekitar 46 butir/kapita/tahun atau 1/8
butir/kapita/hari. Pada periode yang sama, penduduk Malaysia setiap tahunnya
memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur/kapita/hari.
Konsumsi susu masyarakat Indonesia
sangat rendah, yakni sekitar 7 kg/kapita/tahun, Malaysia mencapai 20
kg/kapita/tahun, sedangkan masyarakat Amerika Serikat memiliki konsumsi susu
mencapai 100 kg/kapita/tahun. Konsumsi madu masyarakat Indonesia baru 15
gram/kapita/tahun, sedangkan orang Amerika konsumsi madunya mencapai 1600
gram/kapita/tahun.
Konsumsi daging, telur dan susu yang
rendah menyebabkan target konsumsi protein hewani sebesar 6 gram/kapita/hari
masih jauh dari harapan. Angka ini dapat dicapai bila konsumsi terdiri dari 10
kg daging; 3,4 kg telur dan 6 kg susu/kapita/tahun. Padahal untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani yang ideal adalah
26 gram/kapita/hari (Tuminga et. al. 1999 dalam Rusfidra, 2005c).
Analisis paling akhir oleh Prof. I.K
Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul, Korea Selatan
(1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani
dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi
konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan
domestik brutto (PDB) suatu negara.
Negara-negara berkembang seperti Korea,
Brazil, China, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani
20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara
maju seperti AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani
masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Sementara
itu, negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari
seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65
tahun (Han, 1999).
Delgado et. al (1999) dalam Rusfidra
(2005a) memperkirakan akan terjadi peningkatan produksi dan konsumsi pangan
hewani dimasa depan. Di dalam artikel “Peternakan 2020: Revolusi Pangan Masa
Depan”, mereka menduga konsumsi daging penduduk dunia akan meningkat dari 233
juta ton (tahun 2000) menjadi 300 juta ton (tahun 2020). Konsumsi susu
meningkat dari 568 juta ton (tahun 2000) menjadi 700 juta ton pada tahun 2020,
sedangkan konsumsi telur diperkirakan mencapai 55 juta ton. Hal itu disebabkan
meningkatnya jumlah penduduk dunia, meningkatnya kesejahteraan dan meningkatnya
kesadaran gizi masyarakat dunia.
Hardjosworo (1987) dalam Rusfidra
(2005e) mengidentifikasi empat faktor penting penyebab rendahnya konsumsi
protein hewani:
1.
Mahalnya harga pangan asal ternak bila
diukur dari rata-rata pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mata
rantai yang harus dilalui oleh proses produksi mulai dari pengadaan pakan
sampai ke tangan konsumen sangat panjang. Untuk menghasilkan daging, telur dan
susu diperlukan pakan ternak yang mahal, apalagi komponen bahan pakan unggas
(bungkil kedele, tepung ikan dan jagung) merupakan bahan impor.
2.
Tidak meratanya ketersediaan daging,
susu dan telur di seluruh penjuru tanah air. Bahan pangan hewani tersebut
melimpah di kota-kota besar tetapi sangat langka di daerah yang jauh dari
perkotaan. Kurang meratanya tingkat ketersediaan daging, susu dan telur dapat
disebabkan oleh tingkat permintaan yang dipengaruhi antara lain oleh daya beli
dan tingkat pendapatan masyarakat.
3.
Pengaruh kemampuan produksi dalam negeri
terhadap konsumen protein hewani.
4.
Selera selektif dari masyarakat
Indonesia. Bila dibandingkan dengan negara-negara Barat yang lebih tinggi
tingkat ekonominya, variasi jenis ternak yang dijadikan sumber pangan di
Indonesia sangat sempit. Sebagai contoh dari ternak unggas hanya ayam yang
disukai, sedangkan itik dan puyuh baru sebagaian kecil yang memanfaatkan.
C.
Manfaat Protein Hewani
Selain untuk kecerdasan, protein hewani
dibutuhkan untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) dalam Rusfidra (2005c)
membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada orang
yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut dikenal
dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi
protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang dikonsumsi harus
berasal dari protein hewani.
Protein hewani diduga berperan terhadap
daya tahan eritrosit (sel darah merah) sehingga tidak mudah pecah. Protein
hewani juga berperan dalam mempercepat regenerasi sel darah merah.
Protein hewani memiliki komposisi asam
amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh. Nilai hayati protein hewani relatif
tinggi. Nilai hayati menggambarkan berapa banyak nitrogen (N) dari suatu
protein dalam pangan yang dimanfaatkan oleh tubuh untuk pembuatan protein
tubuh. Semakin tinggi nilai hayati protein suatu bahan pangan makin banyak zat
N dari protein tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan protein
tubuh. Hampir semua pangan asal ternak mempunyai nilai hayati 80 ke atas. Telur
memiliki nilai hayati tertinggi yakni 94-100 (Hardjosworo, 1987 dalam Rusfidra,
2005e).
BAB IV
PENUTUP
Mengingat pentingnya
protein hewani asal ternak (daging, susu dan telur) bagi manusia, maka konsumsi
produk ternak semestinya dipacu menuju tingkat konsumsi ideal. Protein hewani
asal ternak memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh.
Karena itu, langkah mengurangi konsumsi daging dan telur agaknya bukanlah
langkah bijak. Tidak tepat konsumen ragu memakan daging dan telur ayam yang
diolah secara benar meskipun wabah flu burung hingga kini belum berhasil
diberantas dengan tuntas. Konsumsi protein hewani penduduk Indonesia harus
dipacu kearah ideal untuk mewujudkan SDM yang cerdas, kreatif, produktif dan
sehat.
Dengan tersedianya
pangan hewani bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga petani maka diharapkan
ketahanan pangan dapat terjadi pada tingkat rumahtangga sehingga kasus
malnutrisi dapat dicegah secara sistematis. Selain itu, yang tidak kalah
penting adalah peranan ternak dan produk peternakan sebagai sumber pendapatan
dan sumber lapangan kerja yang efektif dalam pengentasan kemiskinan di
perdesaan.
Untuk mengakhiri
tulisan ini agaknya pantas kita renungkan sebuah pepatah berbahasa Arab yang
dikutip dalam Campbell dan Lasley (1985), yang berbunyi sebagai berikut :
“Negara yang kaya dengan ternak tidak akan pernah miskin. Negara yang miskin
dengan ternak tidak akan pernah kaya”. Ayo majukan sektor peternakan.!
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, J. R, and Lasley, J. F.
1985. The Science of Animals that Serve Humanity. Ed. 3rd . McGraww-Hill
Publication in the Agricultural Science.
Rusfidra. 2004. Peternakan dan ketahanan pangan.
Artikel iptek Majalah Amanah No 50 th XVII Mei 2004, Jakarta
Rusfidra. 2005a. Mencegah gizi buruk dan
mengentaskan kemiskinan; peternakan skala rumahan. Artikel iptek Pikiran Rakyat
Bandung, 25 Agustus 2005.
Rusfidra. 2005b. Mewaspadai merebaknya wabah flu
burung. Artikel Pikiran Rakyat, Bandung, 28 Juli 2005.
Rusfidra. 2005c. Protein hewani dan kecerdasan.
Artikel Opini Sinar Harapan, Jakarta, 8 September 2005.
Rusfidra. 2005d. KLB wabah flu burung. Artikel
Opini Sinar Harapan Jakarta (30 September 2005).
Rusfidra. 2007a. Ternak dan Pengentasan
Kemiskinan. Bogor: CENDEKIA Publishing House.
Rusfidra. 2007b. Pengembangan peternakan di
kawasan pesisir. Makalah dipresentasikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional
(KIPNAS) IX. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Ditjen Pendidikan
Tinggi Depdiknas. 20-22 November 2007.
Rusfidra. 2007c. Rural poultry keeping in
Indonesia to house hold food security and poverty alleviation. Jurnal Gakuryoku
XIII (2): 19-26.
Rusfidra. 2007d. Ayam kampung diambang kepunahan?
Artikel www.cimbuak.net (6 Februari
2007)
Rusfidra. 2008. Revolusi Peternakan; Membangun
Peternakan Bertumpu Sumber Daya Genetik Ternak Lokal. Bogor: CENDEKIA
Publishing House.
web : DINAS PETERNAKAN
DAN PERIKANAN KABUPATEN KEDIRI oleh Nurhafid, S.Pt.
0 komentar:
Post a Comment